Salah siapa?!

Ketika saya berhenti menunggu traffic light berubah menjadi hijau, seorang ibu-ibu separuh baya dengan pakaian lusuh dan menggendong seorang anak kecil, mendekati saya dan berkata, “Sedekahlah nak…”. Beberapa hari kemudian, dengan keadaan yang sama (namun di simpang yang berbeda) saya melihat kembali kejadian tersebut, namun pengemis-nya adalah seorang anak kecil.


Kejadian seperti itu bukan hanya terjadi di tempat saya saja, tapi pemandangan tersebut sepertinya sudah menjadi hal yang biasa di setiap perempatan, terutama di kawasan traffic light. Mereka semua hanya dapat meng-iba dengan berharap kebaikan dari setiap orang yang ditemuinya. Kalaupun kita juga merasa iba, tapi mau gimana lagi, apalah daya tangan tak sampai. Keadaan ekonomi membuat mereka seperti itu, sehingga satu persatu pengemis bisa semakin meningkat jika pemerintah setempat tidak cepat menanggapi hal ini.


Teringat dengan sebuah acara di TV yang mengamati dan mengungkap tentang mereka (para pengemis), ternyata sebagian diantara mereka memiliki sebuah sindikat, sederhananya ada seseorang yang mengorganisir untuk melakukan hal tersebut. Dan yang sangat disayangkan, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak. Dimulai dari pagi hari hingga sore hari, dan bahkan sampai larut malam. Melihat hal tersebut, yang seharusnya mereka dapat bermain dan sekolah, tapi justru mereka harus melewati hari-harinya dengan kerasnya kehidupan di jalan. Resiko yang mereka hadapi juga cukup besar, seperti terkena imbas kejahatan, kecelakaan, serta telah mengganggu ketertiban umum, karena mereka biasanya berada pada kawasan jalan raya yang penuh dengan kendaraan yang lalu lalang.


Jika calon penerus bangsa harus berteman dengan kerasnya kehidupan di jalanan, sedikit banyaknya psikologis mereka akan menyatu dengan kerasnya kehidupan jalanan sehingga mereka pun akan memiliki karakter yang keras. Efek itu saya yakin anda bisa menggambarkannya sendiri, atau minimal anda bisa membayangkannya. Jika dilihat dari kacamata masing-masing, “Adilkah ini bagi mereka??”, atau “Siapakah yang harus disalahkan??”

Tidak ada komentar: